TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Belajar merupakan suatu proses usaha sadar yang
dilakukan oleh individu untuk suatu perubahan dari tidak tahu menjadi tahu,
dari tidak memiliki sikap menjadi bersikap benar, dari tidak terampil menjadi
terampil melakukan sesuatu. Belajar tidak hanya sekedar memetakan
pengetahuan atau informasi yang disampaikan. Namun bagaimana melibatkan
individu secara aktif membuat atau pun merevisi hasil belajar yang
diterimanya menjadi suatu pengalamaan yang bermanfaat bagi
pribadinya. Pembelajaran merupakan suatu sistim yang membantu
individu belajar dan berinteraksi dengan sumber belajar dan lingkungan.
Teori adalah seperangkat azaz yang tersusun tentang
kejadian-kejadian tertentu dalam dunia nyata. Teori merupakan seperangkat
preposisi yang didalamnya memuat tentang ide, konsep, prosedur dan prinsip yang
terdiri dari satu atau lebih variable yang saling berhubungan satu sama lainnya
dan dapat dipelajari, dianalisis dan diuji serta dibuktikan kebenarannya. Dari
dua pendapat diatas Teoriadalah seperangkat azaz tentang kejadian-kejadian
yang didalamnnya memuat ide, konsep, prosedur dan prinsip yang dapat
dipelajari, dianalisis dan diuji kebenarannya. Teori belajar adalah
suatu teori yang di dalamnya terdapat tata cara pengaplikasian kegiatan belajar
mengajar antara guru dan siswa, perancangan metode pembelajaran yang akan
dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan landasan diatas dapat kami rumuskan permasalahan
yang akan kita bahas sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan teori
belajar Behavioristik?
2. Bagaimana pandangan para tokoh-tokoh teori
belajar Behavioristik?
3. Apa saja kekurangan dan kelebihan
dari teori belajar Behavioristik?
4. Bagaimana Aplikasi teori
Behavioristik dalam pembelajaran?
C.
Tujuan
1. Mengerti dan memahami mengenai teori
pembelajara Behavioristik
2. Mampu mengkaji hakikat belajar
menurut teori Behavioristik
3. Mengetahui apasaja yang menjadi
kelemahan serta kelebihan teori Behavioristik
4. Memahami dan menjelaskan bagaimana
penerapan teori Behavioristik dalam sistem pembelajaran.
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Belajar Menurut Pandangan
Teori Behavioristik
Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah
laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984) Belajar merupakan
akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang
dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan
perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang
berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang
diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan
siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi
antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat
diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon,
oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima
oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan
pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi
atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik
adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive
reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon
dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka responpun akan semakin
kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi:
(1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement;(3)
Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in
Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah
Thorndike,Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas
karya-karya para tokoh aliran behavioristik.
1. Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara
stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan
belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap
melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta
didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat
berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak
dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran,
tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak
dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme
(Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, yakni (1) hukum efek; (2)
hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini
menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
2. Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara
stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat
diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya
perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun
dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan
karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena
kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau
Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh
mana dapat diamati dan diukur.
3. Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus
dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh
oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi,
semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme
tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive)
dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati
posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus
dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis,
walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan
tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi
biologis (Bell, Gredler, 1991).
4. Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti.
Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul
kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991).
Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk
menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir
yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang
dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar
tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara
stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar
peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan
respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman
(punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan
pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat
mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Siswa harus dibimbing melakukan apa
yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas
yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
5. Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih
mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar
secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara
stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang
kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang
dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima
seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan
saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon
yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku
(Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara
benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta
memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuaensi yang mungkin
timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengmukakan bahwa dengan
menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah
laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan
perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
B.
Analisis Tentang Teori Behavioristik
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu
proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi
stimulus untuk merangsang siswa dalam berperilaku. Pendidik yang masih
menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan
menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu
keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki,
dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997)
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh
para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling
besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik.
Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram,
modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan
stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement),
merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan
Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak
mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau
hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah
menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya
variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang
sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai
kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap
suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat
kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon
yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau
perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk
berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori
ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa
menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk
tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang berpengaruh
yang mempengaruhi proses belajar. Jadi teori belajar tidak sesederhana yang
dilukiskan teori behavioristik.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik
memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran.
Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement)
cenderung membatasi siswa untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
1. Pengaruh hukuman terhadap perubahan
tingkah laku sangat bersifat sementara.
2. Dampak psikologis yang buruk
mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman
berlangsung lama.
3. Hukuman yang mendorong si terhukum
untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman.
Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain
yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat
negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak
pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul
berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai
stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya,
seorang siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut
masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika
sesuatu tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi
(bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki
kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan
negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan
untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah,
sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.
C.
Kelebihan serta Kekurangan Teori
Behavioristik
Kelebihan Teori Behavioristik
1. Membisakan guru untuk bersikap jeli
dan peka terhadap situasi dan kondisi belajar.
2. Guru tidak membiasakan memberikan
ceramah sehingga murid dibiasakan belajar mandiri. Jika murid menemukan
kesulitan baru ditanyakan pada guru yang bersangkutan.
3. Mampu membentuk suatu prilaku yang
diinginkan mendapatkan pengakuan positif dan prilaku yang kurang sesuai
mendapat penghargaan negative yang didasari pada prilaku yang tampak.
4. Dengan melalui pengulangan dan
pelatihan yang berkesinambungan, dapat mengoptimalkan bakat dan kecerdasan
siswa yang sudah terbentuk sebelumnya. Jika anak sudha mahir dalam satu bidang
tertentu, akan lebih dapat dikuatkan lagi dengan pembiasaan dan pengulangan
yang berkesinambungan tersebut dan lebih optimal.
5. Bahan pelajaran yang telah disusun
hierarkis dari yang sederhana sampai pada yang kompleks dengan tujuan pembelajaran
dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu
ketrampilan tertentu mampu menghasilakan suatu prilaku yang konsisten terhadap
bidang tertentu.
6. Dapat mengganti stimulus yang satu
dengan stimuls yang lainnya dan seterusnya sampai respons yang diinginkan
muncul.
7. Teori ini cocok untuk memperoleh
kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsure-unsur
kecepatan, spontanitas, dan daya tahan.
8. Teori behavioristik juga cocok
diterapakan untuk anak yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka
mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru, dan suka dengan bentuk-bentuk
penghargaan langsung.
Kekurangan
Teori Behavioristik
1. Sebuah konsekwensi untuk menyusun
bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap.
2. Tidak setiap pelajaran dapat
menggunakan metose ini.
3. Murid berperan sebagai pendengar
dalam proses pembelajaran dan menghafalkan apa di dengar dan di pandang sebagai
cara belajar yang efektif.
4. Penggunaan hukuman yang sangat
dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap sebagai metode yang
paling efektif untuk menertibkan siswa.
5. Murid dipandang pasif, perlu motifasi
dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan oleh guru.
6. Murid hanya mendengarkan dengan
tertib penjelsan dari guru dan mendengarkan apa yang didengar dan dipandang
sebagai cara belajar yang efektif sehingga inisiatf siswa terhadap suatu
permasalahan yang muncul secara temporer tidak bisa diselesaikan oleh siswa.
7. Cenderung mengarahakan siswa untuk
berfikir linier, konvergen, tidak kreatif, tidak produktif, dan menundukkan
siswa sebagai individu yang pasif.
8. Pembelajaran siswa yang berpusat pada
guru(teacher cenceredlearning) bersifat mekanistik dan hanya berorientasi pada
hasil yang dapat diamati dan diukur.
9. Penerapan metode yang salah dalam
pembelajaran mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang tidak
menyenangkan bagi siswa, yaitu guru sebagai center, otoriter, komunikasi
berlangsung satu arah, guru melatih, dan menentukan apa yang harus dipelajari
murid.
D.
Aplikasi Teori Behavioristik dalam
Kegiatan Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah
pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah
aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang
tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan
stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif.
Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan
semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan
akan menghilang bila dikenai hukuman.
Istilah-istilah seperti hubungan stimulus respon, individu
atau siswa pasif, perilaku sebagai hasil yang tampak, pembentukan perilaku
(shaping) dengan penataan kondisi secara ketat, reinforcement dan hukuman, ini
semua merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam teori behavioristik.
Teori ini hingga sekarang masih merajai praktek pembelajaran di Indonesia. Hal
ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat yang
paling dini, seperti kelompok bermain, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar,
Sekolah Menengah, bahkan sampai Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan
cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering
dilakukan.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran
tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi
pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behvioristik memandang
bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan
telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan,
sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge)ke
orang yang belajar atau siswa. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak
struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat
dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti
ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Siswa
diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang
diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus
dipahami oleh murid (Degeng, 2006).
Demikian halnya dalam proses belajar mengajar, siswa dianggap
sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari
pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang
terstruktur dengan menggunakan standart-standart tertentu dalam proses
pembelajaran yang harus dicapai oleh para siswa. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar siswa diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati
sehingga hal-hal yang bersifat unobservable kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran
dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi,
bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem
pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus
dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa
kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai pengetahuan
telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus
dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara
ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga
pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau
ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan
yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan
sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada
aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau peserta didik
adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar
harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa (Degeng, 2006).
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan
pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang
menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari
dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran
menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti
urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum
secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku
teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi
buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil
belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara
terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil
belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara
“benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah
menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang
terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai
kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa
secara individual.
E.
Pengembangan Perilaku Perspektif
Teori belajar Behavioristik
Prosedur-prosedur pengembangan tingkah laku baru
Di samping penggunaan reinforcement untuk memperkuat tingkah
laku, ada dua metode lain yang penting untuk mengembangkan pola tingkah laku
baru yakni shaping dan modelling.
1. Shaping
Kebanyakan yang diajarkan di sekolah adalah urutan tingkah laku yang kompleks, bukan hanya “simple response”. Tingkah laku yang kompleks ini dapat diajarkan melalui proses “shaping” atau “suc¬cessive approximations” (menguatkan komponen-komponen respon final dalam usaha mengarahkan subyek kepada respon final tersebut), beberapa tingkah laku yang mendekati respon tersekolahnal. Bila guru membimbing siswa menuju pencapaian tujuan dengan memberikan reinforcement pada langkah-langkah menuju keberhasilan, maka guru itu menggunakan teknik yang disebut shaping. Reinforcement dan extinction merupakan alat agar terbentuknya tingkah laku operant baru.
Kebanyakan yang diajarkan di sekolah adalah urutan tingkah laku yang kompleks, bukan hanya “simple response”. Tingkah laku yang kompleks ini dapat diajarkan melalui proses “shaping” atau “suc¬cessive approximations” (menguatkan komponen-komponen respon final dalam usaha mengarahkan subyek kepada respon final tersebut), beberapa tingkah laku yang mendekati respon tersekolahnal. Bila guru membimbing siswa menuju pencapaian tujuan dengan memberikan reinforcement pada langkah-langkah menuju keberhasilan, maka guru itu menggunakan teknik yang disebut shaping. Reinforcement dan extinction merupakan alat agar terbentuknya tingkah laku operant baru.
Frazier dalam (Sri Esti,2006: 139) menyampaikan penggunaan
shaping untuk memperbaiki tingkah laku belajar. Ia mengemukakan lima langkah
perbaikan tingkah laku belajar murid antara lain :
a. Datang di kelas pada waktunya.
b. Berpartisipasi dalam belajar dan
merespon guru.
c. Menunjukkan hasil-hasil tes dengan
baik.
d. Mengerjakan pokerjaan rumah.
e. Penyempurnaan.
Hasil dari lima komponen untuk memperbaiki tingkah laku
menunjukkan bahwa kehadiran masuk sekolah bertambah setelah beberapa bulan.
Yang lebih penting lagi ialah para siswa menjadi lebih bisa bekerja sama di
kelas dan menggunakan waktu belajar mereka lebih efektif.
2. Modelling.
Modelling adalah suatu bentuk belajar yang dapat diterangkan secara tepat oleh classical conditioning maupun oleh operant conditioning. Dalam modelling, seorang individu belajar menyaksikan tingkah laku orang lain sebagai model. Tingkah laku manusia lebih banyak dipelajari melalui modeling atau isekolahtasi, sehingga kadang-kadang disebut belajar dengan pengajaran langsung. Pola bahasa, gaya pakaian, dan musik dipelajari dengan mengamati tingkah laku orang lain. Modelling dapat terjadi, baik dengan “direct reinforcement” maupun dengan “vicarious reinforcement”. Sekolahsalnya, seseorang yang menjadi idola kita menawarkan produk tertentu di layar TV. Kita akan merasa senang jika bisa memakai produk serupa.
Modelling adalah suatu bentuk belajar yang dapat diterangkan secara tepat oleh classical conditioning maupun oleh operant conditioning. Dalam modelling, seorang individu belajar menyaksikan tingkah laku orang lain sebagai model. Tingkah laku manusia lebih banyak dipelajari melalui modeling atau isekolahtasi, sehingga kadang-kadang disebut belajar dengan pengajaran langsung. Pola bahasa, gaya pakaian, dan musik dipelajari dengan mengamati tingkah laku orang lain. Modelling dapat terjadi, baik dengan “direct reinforcement” maupun dengan “vicarious reinforcement”. Sekolahsalnya, seseorang yang menjadi idola kita menawarkan produk tertentu di layar TV. Kita akan merasa senang jika bisa memakai produk serupa.
Sangat mungkin kita belajar meniru karena di-reinforced untuk
melakukannya. Hampir sebagian besar anak mempunyai pengalaman belajar pertama
termasuk reinforcement langsung dengan meniru model (orang tuanya). Hal yang
biasa jika kita mendengar bahwa anak kita dengan bangga mengatakan, bahwa dia
telah mengerjakan sebagaimana yang telah dikerjakan orang tuanya.
Modelling juga dapat dipakai untuk mengajarkan
ketrampilan-ketrampilan akadesekolahs dan motorik.
Clarizio (1981) memberi contoh bagus tentang bagaimana guru
menggunakan modelling untuk mengembangkan sekolahnat murid-murid terhadap
literatur bahasa Inggris. la memberi contoh membaca buku bahasa Inggris
kadang-kadang tertawa terbahak-bahak, tersenyum, mengerutkan dahi dan
sebagainya, untuk membangkitkan sekolahnat anak terhadap buku itu.
Modelling bisa diterapkan di SEKOLAH dengan mengambil guru
maupun orang lain atau anak lain yang sebaya sebagai model dari suatu tingkah
laku, mungkin pelajaran akidah akhlak, Qur’an Hadits, Bahasa Arab, Bahasa
Inggris, dan lain-lain. Berkaitan dengan pengajaran keterampilan motorik dan
akadesekolahs. Suatu sekolahsal siswa diajak ke suatu tempat di mana terdapat
sesuatu yang bisa ditiru oleh anak atau menghadirkan model tersebut ke dalam
kelas/ sekolah.
Prosedur-prosedur Pengendalian atau Perbaikan Tingkah Laku :
Memperkuat Tingkah Laku Bersaing
Dalam usaha merubah tingkah laku yang tak diinginkan diadakan
penguatan tingkah laku yang diinginkan sekolahsalnya dengan kegiatan – kegiatan
kerjasama, membaca dan bekerja di satu meja untuk mengatasi kelakuan-kelakuan
menentang, melamun, dan hilir mudik.
Sekolah misalnya, sekelompok siswa SEKOLAH memperlihatkan
tingkah laku yang tidak diinginkan, yaitu menarik rambut, mengabaikan perintah
guru, berkelahi, berjalan sekeliling kelas. Sesudah menerapkan aturan-aturan
kelas kepada siswa, guru melupakan atau mengabaikan tingkah laku siswa yang
mengacau dan memuji tingkah laku siswa yang memberi kesempatan guru untuk
mengajar. Dalam beberapa waktu, social reinforcement untuk tingkah laku yang
tepat mengurangi tingkah laku yang tidak diinginkan.
3. Ekstingsi
Ekstingsi ialah proses di mana suatu operant yang telah terbentuk tidak mendapat reinforcement lagi. Ekstingsi dilakukan dengan membuat/meniadakan peristiwa-peristiwa penguat tingkah laku. Ekstingsi dapat dipakai bersama-sama dengan metode lain seperti “modelling dan social reinforcement”. Sekolahsalnya, Ana salah seorang siswi kelas tiga SEKOLAH selalu mengacungkan tangan ketika guru mesekolahnta para siswa untuk menjawab pertanyaan. Tetapi guru tidak memberikan perhatian pada Ana yang ingin menjawab pertanyaan gurunya tersebut. Suatu ketika Ana tidak mau lagi mengacungkan tangan ketika guru mesekolahnta para siswa untuk menjawab pertanyannya meskipun ia bisa menjawabnya.
Ekstingsi ialah proses di mana suatu operant yang telah terbentuk tidak mendapat reinforcement lagi. Ekstingsi dilakukan dengan membuat/meniadakan peristiwa-peristiwa penguat tingkah laku. Ekstingsi dapat dipakai bersama-sama dengan metode lain seperti “modelling dan social reinforcement”. Sekolahsalnya, Ana salah seorang siswi kelas tiga SEKOLAH selalu mengacungkan tangan ketika guru mesekolahnta para siswa untuk menjawab pertanyaan. Tetapi guru tidak memberikan perhatian pada Ana yang ingin menjawab pertanyaan gurunya tersebut. Suatu ketika Ana tidak mau lagi mengacungkan tangan ketika guru mesekolahnta para siswa untuk menjawab pertanyannya meskipun ia bisa menjawabnya.
Guru-guru sering mengalasekolah kesulitan mengadakan
ekstingsi karena mereka harus belajar mengabaikan “sekolahsbehaviors” tertentu.
Tentu saja ada jenis-jenis tingkah laku yang tidak dapat diabaikan oleh
guru-guru terutama tingkah laku yang menyinggung perasaan murid-murid.
Ekstingsi berlangsung terutama jika reinforcement adalah
per¬hatian. Apabila murid memperhatikan ke sana ke mari, maka perubahan
interaksi guru murid akan menghentikan tingkah laku murid tersebut.
4. Satiasi
Satiasi adalah suatu prosedur menyuruh seseorang melakukan perbuatan berulang-ulang sehingga ia menjadi lelah atau jera. Contoh: seorang ayah yang memergoki anak kecilnya merokok menyuruh anak merokok sampai habis satu pak sehingga anak itu bosan.
Satiasi adalah suatu prosedur menyuruh seseorang melakukan perbuatan berulang-ulang sehingga ia menjadi lelah atau jera. Contoh: seorang ayah yang memergoki anak kecilnya merokok menyuruh anak merokok sampai habis satu pak sehingga anak itu bosan.
Krumboltz dan Krumboltz (1972) menyatakan jika tingkah laku
yang diulang berbeda dengan tingkah laku yang tidak diinginkan maka satiasi
tidak tepat. Yang tepat adalah menerapkan metode disiplin seperti menulis 100
kali. Guru sebaiknya mencoba memperkuat tingkah laku yang tepat untuk
menggantikan tingkah laku yang tidak diinginkan.
5. Perubahan Lingkungan Stimuli
Beberapa tingkah laku dapat dikendalikan oleh perubahan
kondisi stimuli yang mempengaruhi tingkah laku itu. Jika murid terganggu oleh
suara gaduh di luar kelas, ketukan jendela dapat menghentikan gangguan itu.
Jika suatu tugas yang sulit mengecewakan murid, maka guru dapat mengganti
dengan tugas yang kurang begitu sulit. Jika di kelas ada dua orang murid yang
termenung saja, guru dapat menghampiri atau duduk di dekat mereka.
6. Hukuman
Untuk memperbaiki tingkah laku, hukuman hendaknya dite¬rapkan di kelas dengan bijaksana. Hukuman dapat mengatasi tingkah laku yang tak diinginkan dalam waktu singkat, untuk itu perlu disertai dengan reinforcement. Hukuman menunjukkan apa yang tak boleh dilakukan murid, sedangkan reward menunjukkan apa yang mesti di¬lakukan oleh murid.
Untuk memperbaiki tingkah laku, hukuman hendaknya dite¬rapkan di kelas dengan bijaksana. Hukuman dapat mengatasi tingkah laku yang tak diinginkan dalam waktu singkat, untuk itu perlu disertai dengan reinforcement. Hukuman menunjukkan apa yang tak boleh dilakukan murid, sedangkan reward menunjukkan apa yang mesti di¬lakukan oleh murid.
Bukti menunjukkan, bahwa hukuman atas kelakuan murid yang tak
pantas lebih efektif daripada tidak menghukum.
Ada dua bentuk hukuman:
· Pemberian stimulus
derita, sekolah misalnya: bentakan, cemoohan, atau ancaman.
· Pembatalan perlakuan positif,
sekolah misalnya: mengambil kembali suatu mainan atau mencegah anak untuk
bermain-main bersama teman-temannya.
Harus kita ingat dalam memberikan hukuman, bahwa hukuman
sering tidak disetujui oleh kelompok teman sebaya. Sia-sialah guru menghukum seorang
anak jika teman–temannya kelihatan tidak setuju terhadap hukuman itu. Hukuman
hendaknya dilaksanakan Iangsung, secara kalem, disertai reinforcement dan
konsisten.
Langkah-langkah Dasar Modifikasi Tingkah Laku
Berikut ini adalah langkah-langkah bagi guru SEKOLAH dalam
mengadakan analisa dan modifikasi tingkah laku pada peserta didik:
1. Mendefinisikan dan menyatakan
secara operasional tingkah laku yang dapat diubah. Contoh, guru mendefinisikan
dan menyatakan secara operasional tingkah laku yang akan diubah. Guru menulis
tingkah laku khusus pada papan yang ditempelkan di kelas: (a) ”Saya akan tetap
di tempat duduk, kecuali diberi izin untuk meninggalkannya” dan (b) ”Saya tidak
akan bicara dengan teman dan gaduh selama mengikuti pelajaran.
2. Melakukan pengamatan terhadap
frekuensi tingkah laku yang perlu diubah. Sekolahsalnya, berapa kali siswa
meninggalkan tempat duduk dalam waktu satu jam atau selama pelajaran
berlangsung? Guru kemudian membuat catatan rata-rata pelanggaran dari aturan
yang dia buat. Dia mengacak 12 observasi yang dia lakukan selama 5 menit tiap
hari dalam beberapa hari. Ditemukan bahwa rata-rata siswa meninggalkan tempat
duduk 12 kali. Bicara dengan teman selama mengikuti pelajaran rata-rata 15 kali
dalam satu hari. Dan sebagainya.
3. Menciptakan situasi belajar atau
treatment sehingga terjadi tingkah laku yang diinginkan. Sebelum memulai
reinforcement untuk tingkah laku yang tepat, cobalah periksa untuk menentukan
apakah individu dapat mengatasi hambatan sehingga sampai pada tingkah laku yang
diinginkan seperti dengan persekolahntaan verbal atau dengan mengembangkan
suatu situasi di mana tingkah laku yang kita inginkan itu barangkali terjadi.
Contoh, “marilah anak-anak kita bersihkan masjid agar bisa kita pakai untuk
sholat berjamaah.”
4. Mengidentifikasi “reinforcers” yang
potensial. Suatu stimuli tidak diperkuat secara tepat. Selain itu, apakah
diperkuat pada suatu waktu tidak akan diperkuat lagi. Contoh, guru menciptakan
‘menu’ dari reinforcement dengan mesekolahnta siswa untuk mengisi suatu survey
reinforcement. Angket ini menanyakan tentang kegiatan yang mereka lakukan di
kelas, makanan cesekolahlan yang mereka sukai, barang-barang yang mereka sukai,
dan lain-lain.
5. Memperkuat tingkah laku yang
diinginkan, dan jika perlu menggunakan prosedur-prosedur untuk memperlemah
tingkah laku yang tidak pantas. Sekolahsalnya, guru memberi system token kepada
kelas. Ia menjelaskan bagaimana setiap siswa akan mendapatkan angka setiap kali
guru ‘menangkap’ siswa mengikuti aturan kelas. Angka ini dicatat oleh guru pada
kartu identitas dan kemudian akan dibagikan pada hari tertentu.
6. Menyusun rekaman/ catatan tingkah
laku yang diperkuat untuk menentukan kekuatan-kekuatan atau frekuensi respon
telah bertambah. Dengan membandingkan kemajuan pada waktu perlakuan (treatment)
atau pada waktu belajar pada awal atau pada pertengahan belajar, kita akan tahu
apakah kemungkinan reinforcement akan mempunyai dampak pada modifikasi tingkah
laku. Jika reinforcement tidak berpengaruh pada tingkah laku, kita kemudian
harus menentukan mengapa hal itu terjadi kemudian membuat penyesuaian.
Sekolahsalnya, guru berusaha mesekolahnimalisir tingkah laku siswa yang tidak
diinginkan agar pada gilirannya tingkah laku tersebut tidak muncul sama sekali.
Pengajaran Terprogram
Pengajaran terprogram menerapkan prinsip-prinsip “operant
conditioning” bagi belajar siswa di sekolah. Pengajaran ini berlangsung seperti
halnya paket pengajaran diri sendiri yang menyajikan suatu topik yang disusun
secara cermat untuk dipelajari dan dikerjakan oleh murid. Tiap-tiap pekerjaan
murid langsung diberi “feedback”. Program dapat tertuang dalam buku-buku,
mesin-mesin mengajar, atau komputer (Computer Asisten Instruction).
Pengajaran terprogram berusaha memajukan belajar dengan :
a. Memerinci bahan pelajaran menjadi
unit-unit kecil.
b. Memaksa murid mereaksi unit-unit
kecil itu.
c. Memberitahukan hasil belajar secara
langsung, dan
d. Memberi kesempatan untuk bekerja
sendiri.
Ada bermacam-macarn pengajaran terprogram, antara lain:
§ Program linear: program ini dikembangkan oleh
Skinner. Penyusun Program menentukan urut-urutan kegiatan murid untuk
menyelesai¬kan program. Tiap bagian program berisi perincian kecil pengetahuan.
§ Program intrinsik atau “branching program”:
Program ini dikem¬bangkan oleh Croder. Dalam program ini respon-respon murid
menentukan rute atau arah kegiatan murid-murid menentukan rute atau arah
kegiatan murid itu. Rute-rute alternatif disebut “branches” yang merupakan
prediktor-prediktor permasalahan yang akan mem¬perbaiki respon murid, Crowder
menggunakan pernyataan-pernyataan pilihan ganda.
Dalam pengajaran terprogram ada tiga kelakuan pokok murid
dalam belajar, yaitu review, under-lining, dan note taking. Beberapa kriteria
terhadap metode pengajaran terprogram, antara lain : kurang mengembangkan
kreatifitas, kurang memberi pengalaman humanisasi, kurang memberi kesempatan
untuk merespon dengan berbagai aktivitas.
Program Pengajaran Individual
Prinsip-prinsip pengajaran terprogram telah diterapkan dalam
program-program pengajaran individual. Program pengajaran individ¬ual telah
dikembangkan pada beberapa lembaga pendidikan seperti:
§ Program for learning in Accordance With Needs
(PLAN), pada Westinghouse Corporation.
§ Individually Guide Education (IGE), pada Pusat Penelitian
dan Pengembangan Belajar Kognitif Universitas Pittsburgh.
Program pengajaran individual disusun dalam bentuk unit-unit
belajar-mengajar dengan rumusan tujuan, bahan pelajaran, dan cara-cara untuk
mencapai tujuan pembelajaran.
Tiap-tiap unit belajar mengajar dimulai dengan tujuan belajar
yang akan dicapai oleh murid, baru kemudian aktivitas belajarnya. Aktivitas
belajar terdiri atas bahan-bahan pelajaran, pertanyaan tes, dan
pertanyaan-pertanyaan diskusi. Jika murid dapat menyelesaikan tes-tes dengan
baik, ia melanjutkan belajar pada unit-unit berikutnya. Jika ia gagal, ia
hendaknya berkonsultasi dengan guru.
Bagi siswa SEKOLAH, sistem ini dipakai untuk memantau
kemajuan dan performance siswa dengan selalu didampingi oleh guru terutama bagi
kelas rendah di SEKOLAH. Dengan menentukan Standar Kompetensi, Kompetensi
Dasar, serta Indikator siswa diarahkan dalam kegiatan belajar atau les baik
privat maupun non privat. Dalam hal ini, bisa dicontohkan homeschooling seperti
marak disekolahnati masyarakat saat ini.
Analisa Tugas
Komponen-komponen pengajaran yang penting menurut pandangan
behaviorisme adalah kebutuhan akan :
a. Perumusan tugas atau tujuan belajar
secara behavioral.
b. Membagi “task” menjadi “subtasks”.
c. Menentukan hubungan dan aturan logis
antara “subtasks”.
d. Menetapkan bahan dan prosedur
pengajaran tiap-tiap “subtasks”
e. Memberi “feedback” pada setiap
penyelesaian “subtasks” atau tujuan-tujuan tiap kompetensi dasar.
Salah satu fungsi guru yang terpenting setelah ia menentukan
tujuan ialah menganalisa tugas. Analisa tugas akan membantu guru dalam
membimbing belajar murid. Bagi penyusun program, analisa tugas membantu
menentukan susunan bahan pelajaran dalam mesin mengajar. Perencanaan kurikulum
dapat mengatur urutan unit-unit belajar.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan masalah yang kita bahas, dapat diambil kesimpulan
:
Teori behavioristik merupakan teori belajar yang lebih
menekankan pada perubahan tingkah laku serta sebagai akibat dari interaksi
antara stimulus dan respon.
Teori behaviristik terdiri dari dari 4 landasan:
koneksionisme, pengkondisian, penguatan, dan Operant conditioning.
Menurut teori belajar behavioristik, belajar merupakan suatu
proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan
respon. Seseorang dianggap telah belajar apabila ia bisa menunjukkan perubahan
tingkah lakunya.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran
tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi
pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang
tersedia.
B. Saran
Kita sebagai calon guru harusnya mampu mendidik para peserta
didik kita dengan baik, dengan metode serta teori yang tepat sehingga proses
belajar mengajar berjalan dengan baik. Oleh karena itu pelajarilah teori-teori
pembelajaran yang ada agar kita mampu menemukan kecocokan dalam metode mengajar
yang tepat.
REFERENSI
Budinungsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta: Rineka Cipta.
http://azizahdreams.blogspot.co.id
http://rhazhie.blogspot.com
Sagala, Syaiful. 2011. Konsep dan Makna Pembelajaran.
Bandung: Alfabeta.
Yulaelawati, Ella. 2007. Kurikulum dan Pembelajaran
Filosofi, Teori dan Aplikasi. Jakarta: Pakar Raya.
Lampiran : tugas
membuat script
Studi kasus yang berkaitan dengan Teori Belajar Behavioristik :
Untuk bisa menciptakan sistem pengajaran yang efektif, sangat
penting bagi guru maupun orang tua untuk mempelajari berbagai pilihan metode
pembelajaran (learning) yang layak diterapkan pada anak didik. Salah satu
bentuk pembelajaran tersebut dipengaruhi oleh aliran behaviorisme, yaitu
sebuah pendekatan dalam ilmu psikologi yang menekankan pada hal-hal yang dapat
dilihat dari perilaku dan peran lingkungan sebagai penentu perilaku. Proses
pembelajaran dalam aliran ini menekankan pada asosiasi antara stimulus dalam
lingkungan dengan respon, yang dikenal dengan istilah pengondisian
(conditioning). Terdapat dua jenis pengondisian yang dikemukakan oleh dua tokoh
yang berbeda pula. Namun dalam kesempatan ini hanya akan dibahas pengondisian
operan (operant conditioning) yang digagas oleh B. F. Skinner, yakni
melalui contoh kasus berikut.
Contoh ini berdasarkan pengalaman
pribadi ketika saya memasuki sekolah menengah pertama. Saya bukanlah murid yang
berprestasi di bidang akademik sewaktu duduk di bangku SD. Mengamati anak
perempuan semata wayang tak becus dalam urusan sekolah, ibu saya menawarkan
sebuah perjanjian yang rupanya dapat menumbuhkan motivasi belajar saya. Apabila
saya bisa memperoleh peringkat sepuluh besar, saya akan terbebas dari segala
urusan rumah tangga, seperti mengepel, menyapu, mencuci, dan lain sebagainya.
Alhasil, saya pun giat belajar demi terbebas dari kewajiban membantu ibu. Dan
tanpa disangka, saya berhasil memperoleh peringkat pertama. Senyuman penuh
kebahagian, syukur, dan rasa bangga pun yang terukir di wajah ibu setelah
pulang mengambil rapor. Hal ini menyebabkan saya menjadi kian kalut dalam usaha
mempertahankan juara kelas dari tahun ke tahun. Dan banyak hal positif yang
saya rasakan setelah itu, seperti lebih dihargai teman dan guru dan yang paling
penting adalah tidak lagi dibanding-bandingkan dengan kakak saya yang merupakan
murid teladan dan tak diragukan kepandaiannya. Sayangnya, ketika saya gagal
menjaga konsistensi tersebut, maka saya akan mendapatkan beberapa hal sebagai
ganjaran, seperti berkurangnya waktu bermain dan sudah tentu harus tetap
mengerjakan tugas bersih-bersih rumah.
Dari contoh kasus di atas, dapat dijabarkan beberapa hal sebagai berikut :
Penguatan (reinforcement) atau penghargaan (reward), yaitu suatu konsekuensi yang meningkatkan peluang terjadinya sebuah perilaku, seperti usaha belajar yang meningkat setelah diberi stimulus.
Dari contoh kasus di atas, dapat dijabarkan beberapa hal sebagai berikut :
Penguatan (reinforcement) atau penghargaan (reward), yaitu suatu konsekuensi yang meningkatkan peluang terjadinya sebuah perilaku, seperti usaha belajar yang meningkat setelah diberi stimulus.
Penguatan negatif (Negative reinforcer) merupakan penguatan
yang didasarkan pada prinsip bahwa frekuensi dari respons meningkat diikuti
oleh stimulus yang tidak menyenangkan, misalnya usaha belajar meningkat
dikarenakan untuk menghindari tugas-tugas rumah..
Hukuman (punishment) adalah suatu konsekuensi yang menurunkan
peluang, contohnya tugas bersih-bersih dan kuantitas waktu bermain dikurangi.
Coin Casino Canada 🎖️ Free Bets from ₹2500
BalasHapusAll the details about coin casino Canada ▻ Check your favorite casino games ✓ Get kadangpintar $2500 welcome bonus 인카지노 ▻ Claim your welcome bonuses in 🎁 Bonus Amount: 메리트카지노 ₹20,000+₹50000